Saturday, September 29, 2012

Aku Yang Seperti Ini



Beberapa malam belakangan ini, purnama nampak benderang dengan kemegahannya yang absolut dalam pekatnya langit.

Ingin sebenarnya pada satu malam, kubentangkan tikar beserta secangkir kafein.
Mengoceh tentang namamu kepada bulan yang selalu terdiam anggun.
Apakah kamu mendengar celoteh seorang yang terduduk disini menggumamkan namamu ketika bintang menerangi kepalanya yang terus saja menatap perih ?

Apakah kau mendengarnya, sayang ? ataukah untuk sekali lagi kebodohanku terbahak soal gusarku kepada bulan ?


Aku sesekali mencintai malam, ketika tiada lagi aku yang hidup dalam cintanya.
Tenang saja, kau akan menemuiku kala purnama merekah.

Aku, seekor serigala yang mengaum. menjerit dalam hening dedaunan kering, berteriak dalam perihnya luka.

Malam ini pun, aku juga ingin kembali merindukanmu.
Merindukanmu yang harusnya semudah menyeruput secangkir kafein panas di tengah hujan deras.
Di dalam senyap dingin malam, atau di atas perbukitan sembari menikmati bintang saling bertegur sapa, ataupun sekedar terbenam dalam luruhnya purnama.

Malam ini pun,

kuibaratkan kita sedang bersandiwara diatas kanvas saja.
Dimana aku menjadi yang tersakiti, dan kamu yang selalu kukagumi dan kurindukan.

Dan semoga engkau selalu tahu.
Cintaku bukanlah benar-benar memiliki cerita.
Ia hanya tahu satu hal; mencintaimu secara sederhana.

maaf bila aku memang seperti ini.

Friday, September 21, 2012

Hanya Aku

.....sabit.

Ia terang tiga hari berurutan, mencipta indah dalam gempita.

dan aku lah di sini, sang pengecut dengan senyuman pahitnya.

iya, akulah pecinta sabit, pengagum bintang dan perindu purnama.


"hey, sabit... lama tak berjumpa ya? 
Mungkin kau telah tau aku lama tidak mengamatimu, karena musim dingin yang lalu membuatku lumpuh pada kehangatanmu. 
Hanya secangkir kafein hangat dan monitor empat belas inci lah yang menjadi teman setiaku, menyapa pada awan yang bergelimang hitam dan bintang yang enggan bersinar. 
Bagian dari hatiku selalu pudar jika mengingatmu, sabit. kau sangat indah, sungguh.

.....sabit, tahukah engkau?
Itu semua mematikan....... 
mematikan setiap nafas yang ingin aku mulai, cerita yang telah menunggu untuk aku tulis, dan keinginan serta harapan yang terus menjadi kamuflase di hidupku. "

Wednesday, September 12, 2012

Damn


Barangkali,
aku mulai menyukai setiap aksara yang menggumpal,
Dalam kehidupan kita yang kau ucap, yang kini jauh berbeda.

Tahukah kamu?
Aku suka caraku memeluk kesepian,
lewat ciuman-ciuman hangat air mata yang berjatuhan.
Ya itu aku.

Bagaimana denganmu?
Apa kau suka dengan caramu menyibak kabut saat purnama mulai tersabut?

Monday, September 10, 2012

Elegi Tengah Malam


Kemarin aku telah menyelesaikan diksiku akan senja,
dia yang terbungkus kertas jingga, tidak tepatnya emas.
Dia perlahan melumat habis setiap biru langit dan merapuhkan sisa-sisa ketegaran mentari,
mentari jingga sejingga lembayung.
Atau tentang seorang pemuda yang berpulang, kembali ke peraduan, menemui malaikat yang ia sebut petang.
Bersamaan dengan burung-burung yang meriuh.

Saat ini malam, tengah malam tepatnya.
Ketika kurasa senja masih menyisakan sedikit fenomena, yang hanya mampu kukupas perlahan tatkala aku memupus setiap bayang yang sejatinya, takkan pernah hilang.
Seperti debur ombak, menghapus setiap coretan yang kucerca hingga hangat airnya menyentuh telapak kaki, menggesek pasir-pasir hingga tiada berbekas.

Di malam ini, aku masih sama seperti kemarin,
hanya mampu menatap sayu kotak empat belas inci dalam magisnya aksara yang tersusun.
Mencoba merangkai setiap kalimat yang terangkai liar, dan membentuk : KAMU.

Ingin menangis sebenarnya, tapi tertahan. Entahlah mungkin sudah kering.
Namun tetap meluruh rasa yang menggenap di mata, di hati, di raga didalam diam, dalam-dalam.
Karena kutahu pasti, untuk apa menangis, toh aku tak pernah benar-benar tahu.
Bukankah cinta tak pernah mencipta kata 'karena' ?
Atau mungkin karena aku tersadar, bahwa aku akan terus terlupakan, seperti halnya bintang yang akan ditelan mentari ketika fajar menjelang...

Monday, September 3, 2012

Sajak Dikala Senja


Jarum jam berdetak santun menelusur senja yang setengah berduka.
Seolah menyorak puing bias mentari yang perlahan sembunyi dari hingar bingar saat ini.
Sementara gemintang berbisik lirih, menyambut gelap yang kian menghitam.
Dan rinai lampu remang-remang diruang ini, menyeret rinduku jauh ke alam fana.

Ah, baru aku sadar, simfoni angin terhenti dari tadi.
Pantas daun-daun itu tak lagi melantun melodi.
Serenada yang terbentuk dari gemericik debu diatas angkuhnya gravitasi.
Orkestra tanpa konduktor, kuharap esok mereka datang lagi

Seperti biasa, teriakan dalam kepalaku terus berdengung, melirih.
Kudengar dari diksi monolognya, agaknya otakku sedang risau. barangkali.
Entah karena engkau, atau… entahlah aku juga tidak tahu.
Mungkin dia hanya sedang berkicau kacau?

Yang jelas, dia menggerakkanku lagi kemari, ya kembali kemari.
Di depan monitor empat belas inci, dimana jemariku menari.
Menekan bergantian tuts kibor yang berjejer rapi,
Menyusun rima-rima absurd yang mungkin tak begitu memiliki arti.

Sejenak otak ini lelah berkontemplasi.
Lalu menuntunku kembali ke bait pertama puisi ini.