Malam ini jogja hujan, ya hujan. Menyenangkan ketika kita diberi kesempatan untuk berhujan-hujan seperti masa-masa kecil dahulu. Tapi apa daya, meringkuk dirumah sendirian karena keluargaku pergi ketempat saudara, gak bisa menikmati deras titik-titik air yang turun. Yang pasti aku masih bisa menikmatinya dengan cara lain. Kubuka jendela kamarku, kudengar suara hujan turun bersama segelas teh hangat berharap lain kali hujan masih turun seperti ini dan aku bisa menikmatinya dengan lebih lagi.
Masih ditemani rintik-rintik hujan yang mungkin sebentar lagi usai dan segelas teh hangat yang belum habis mari kita menulis lagi sebelum hujan benar-benar berhenti.
Disini...
Dimana balada hujan pelan makin merdu, dalam deru.
Kita menyusuri kedangkalan bumi,
Dimana dengan angkuh aku merajut untaian kata demi kata.
Rumit bagai labirin, sebagaimana masa lalu yang selalu kita ingat.
"kau", "aku", hanyalah kata ganti yang dipakai miliaran manusia,
dan puisi ini hanyalah perumpamaan kosong yang segera terlupakan.
Adakah hujan yang dulu menyatukan "kau", "aku", jadi "kita"?
Mungkin saja seperti itu.
Dalam liriknya yang lantun sopan menggubah "kita" menjadi cinta.
Sebagaimana mestinya, masa lalu yang selalu kita ingat.
Hujan setitik demi setitik.
Malam ini dia memainkan nadanya dengan ragu.
Seakan malu memainkan lagu kesukaanmu
Pada akhirnya dingin menerpa.
Kututup jendela kamarku.
Dan aku mencoba tidur
Berselimut senyum kecilmu
yang masih hangat seperti teh yang masih kunikmati.
Peri kecilku, kalau kamu masih terjaga segeralah tidur. Besok masih banyak tanggung jawab yang mesti dilakukan.