Friday, October 21, 2011

Rasa Dalam Kesadaran Sempurna

Jangan tanyakan tentang presisi nada, denting sumbang dan akusisinya padaku saat ini. 
Karena saat ini aku hanya ingin duduk diam menikmati malam 
berteman seikat aroma hujan yang telah turun membasahi teras rumahku. 
Dia menawarkan damai serta menjajakan rasa yang sendu 
dan melankolik sambil kontemplasi, 
entah hasil dari kelelahankah ? 
atau sebentuk tanya yang masih tersemat erat.

Di sini, aku menikmati keserasian alam. 
Aku memulai monolog hati persis ketika malam jatuh 
dan sinar sepotong bulan berwarna tembaga menyirami pelataran. 
Aku malam ini, berbincang… 
dengan tanpa mengendarai egositas dan tanpa mengenakan topeng keangkuhan. 
Dendam kuendapkan, 
berharap ada damai menelusup lembut di kerontang jiwa tanpa gerimis.

Angkasa kelam dan sepi membisu setelah hujuan usai. 
Bahasanya tanpa suara. 
 Kelip bintang adalah kesaksian yang banyak bicara akan apa yang terjadi di lengkung langit. 
Beribu ribu tanda tanya dan pengandaian akan kemungkinan yang akan terjadi, 
kini menghujani pikiran jenuh di kepalaku 
dan angin hanya meniup lembut 
dan berlalu tanpa meninggalkan secuil jawab atas pertanyaanku.

Malam ini, setitik embun seusai hujan menjadi perlambang keingin sunyianku. 
Keyakinan akan membaiknya keadaan ini dari semula semakin menipis,
terkikis oleh kelelahan batin. 
Akupun harus menyiram amarah yang menggelegak dengan dinginnya salju kedamaian. 
Kukuatkan hati untuk mencabut satu-satu dari jutaan jarum pesismisme yang menancap di kepalaku.

Ini pengalaman hidup. 
Guru bagi liku perjalanan terjal.
Bagiku guru adalah kelap kelip kunang-kunang di ketika jatuh gerimis di malam hari, 
atau lintasan buih yang hilang-tampak di bebatuan, 
atau curahan hujan yang menerpa permukaan telaga yang tenang. 

Rasa dalam kesadaran sempurna  inilah guru utama.

No comments:

Post a Comment